Kisah Cundasukarika

Pada suatu dusun, tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya, dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur, berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya untuk merangkak seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di Neraka Avici (Avici Niraya).

Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda, berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.

Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat, akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat, akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini, sama seperti pada alam berikutnya.

Hal itu diwejangkan oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair 15 berikut ini:

Di dunia ini ia bersedih hati.
di dunia sana ia bersedih hati.
pelaku kejahatan akan bersedih hati,
di kedua dunia itu.
ia bersedih hati dan meratap,
karena melihat perbuatannya sendiri,
yang tidak bersih.

Kisah Nanda Thera

Suatu ketika Sang Buddha menetap di Vihara Veluvana, Rajagaha. Waktu itu ayah-Nya, Raja Suddhodana, berulangkali mengirim utusan kepada Sang Buddha, meminta beliau mengunjungi kota Kapilavatthu. Memenuhi permintaan ayahnya, Sang Buddha mengadakan perjalanan dengan diikuti oleh sejumlah besar arahat.

Saat tiba di Kapilavatthu, Sang Buddha bercerita tentang Vessantara Jataka di hadapan pertemuan saudara-saudaranya. Pada hari kedua, Sang Buddha memasuki kota, dengan mengucapkan syair berawal "Uttitthe Nappamajjeyya..." (artinya seseorang harus sadar dan tidak seharusnya menjadi tidak waspada...). Beliau menyebabkan ayah-Nya mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Ketika tiba di dalam istana, Sang Buddha mengucapkan syair lainnya berawal "Dhammam Care Sucaritam..." (artinya seseorang seharusnya mempraktekkan Dhamma...), dan sang raja berhasil mencapai tingkat kesucian sakadagami.

Setelah bersantap makanan, Sang Buddha menceritakan tentang Candakinnari Jataka, berkenaan kisah kebajikan ibunya Rahula.

Pada hari ketiga, di istana berlangsung upacara pernikahan Pangeran Nanda, sepupu Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke sana untuk menerima dana makanan (pindapatta), dan memberikan mangkok-Nya kepada pangeran Nanda. Kemudian Sang Buddha pergi meninggalkannya tanpa meminta kembali mangkok-Nya.

Karena itu sang pangeran, sambil memegangi mangkok, berjalan mengikuti Sang Buddha. Pengantin putri, Janapadakalyani, melihat sang pangeran pergi mengikuti Sang Buddha, terus berlari dan berteriak pada sang pangeran untuk kembali secepatnya. Ketika tiba di vihara, Sang Pangeran diterima dalam Sangha sebagai seorang bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha berpindah ke vihara yang didirikan oleh Anathapindika, di hutan Jeta dekat Savatthi.

Selama tinggal di sana Nanda merasa tidak senang, dan setengah kecewa serta menemukan sedikit kesenangan dalam hidup sebagai seorang bhikkhu. Ia ingin kembali pada kehidupan berumah-tangga, karena ia terus teringat kata-kata dari Putri Janapadakalyani, memohonnya untuk kembali secepatnya. Hatinya menjadi goyah. Dan semakin goyah.

Mengetahui hal tersebut, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa, memperlihatkan kepada Nanda beberapa dewi yang cantik dari surga Tavatimsa, jauh lebih cantik daripada putri Janapadakalyani.

Sang Buddha bertanya kepada Nanda, "Siapakah yang lebih cantik, putri Janapadakalyani atau para dewi yang berdiri di hadapanmu itu?"

"Tentu saja mereka jauh lebih cantik dibandingkan dengan putri Janapadakalyani," jawab Nanda.

Sang Buddha berkata lagi kepada Nanda, "Apabila engkau tekun dalam mempraktekkan Dhamma, Aku berjanji untuk membantumu memiliki dewi-dewi itu."

Mendengar pernyataan itu, Nanda tertarik dan sekali lagi berjanji akan mematuhi Sang Buddha.

Bhikkhu-bhikkhu yang lain menertawakan Nanda, dengan berkata bahwa ia seperti orang bayaran, yang mempraktekkan Dhamma demi memperoleh wanita cantik, dan sebagainya.

Nanda merasa sangat tertekan dan malu. Karena itu dalam kesendirian, ia mencoba dengan keras mempraktekkan Dhamma, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Sebagai seorang arahat, batinnya bebas dari semua ikatan dan keinginan. Dan Sang Buddha juga bebas dari janji-Nya kepada Nanda. Semua ini telah diketahuiNya sejak awal.

Bhikkhu-bhikkhu yang lainnya, yang semula mengetahui bahwa Nanda tidak gembira menjalani hidup sebagai bhikkhu, kembali bertanya bagaimana ia bisa mengatasinya.

Nanda Thera menjawab, bahwa sekarang ia tidak lagi terikat dengan kehidupan berumah-tangga. Mereka berpikir Nanda tidak berkata yang sebenarnya. Karena itu mereka mencari keterangan perihal masalah itu kepada Sang Buddha, dengan menyatakan keragu-raguan mereka.

Sang Buddha menjelaskan kepada mereka bahwa sebelumnya, kenyataan alamiah Nanda, sama seperti atap rumah yang bocor, tetapi sekarang rumah itu telah dibangun dengan atap rumah yang baik.

Penjelasan itu diakhiri dengan syair 13 dan 14 berikut ini:

Bagaikan hujan,
yang dapat menembus rumah beratap tiris.
demikian pula nafsu,
akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.

Bagaikan hujan,
yang tidak dapat menembus rumah beratap baik.
demikian pula nafsu,
tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.

Kisah Sariputta Thera

Upatissa dan Kolita adalah dua orang pemuda dari dusun Upatissa dan dusun Kolita, dua dusun di dekat Rajagaha. Ketika melihat suatu pertunjukkan, mereka menyadari ketanpa-intian dari segala sesuatu. Lama mereka berdua mendiskusikan hal itu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Akhirnya mereka bersama-sama memutuskan untuk mencari jalan keluarnya.

Pertama-tama, mereka berguru kepada Sanjaya, petapa pengembara di Rajagaha. Tetapi mereka merasa tidak puas dengan apa yang ia ajarkan. Karena itu, mereka pergi mengembara ke seluruh daerah Jambudipa untuk mencari guru lain yang dapat memuaskan mereka.

Lelah melakukan pencarian, akhirnya mereka kembali ke daerah asal mereka, karena tidak menemukan Dhamma yang sebenarnya. Pada saat itu mereka berdua saling berjanji, akan terus mencari. Jika di antara mereka ada yang lebih dahulu menemui kebenaran Dhamma, harus memberitahu yang lainnya.

Suatu hari, Upatissa bertemu dengan Assaji Thera, dan belajar darinya tentang hakekat Dhamma. Sang Thera mengucapkan syair awal, "Ye Dhamma hetuppabhava", yang berarti "Segala sesuatu yang terjadi berasal dari suatu sebab."

Mendengar syair tersebut mata batin Upatissa terbuka. Ia langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti magga dan phala.

Sesuai janji bersamanya, ia pergi menemui temannya Kolita, menjelaskan padanya bahwa ia, Upatissa, telah mencapai tahap keadaan tanpa kematian, dan mengulangi syair tersebut di hadapan temannya. Kolita juga berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat akhir syair itu diucapkan.

Mereka berdua teringat pada bekas guru mereka, Sanjaya, dan berharap ia mau mengikuti jejak mereka. Setelah bertemu, mereka berdua berkata kepadanya, "Kami telah menemukan seseorang yang dapat menunjukkan jalan dari keadaan tanpa kematian; Sang Buddha telah muncul di dunia ini, Dhamma telah muncul; Sangha telah muncul...., mari kita pergi kepada Sang Guru".

Mereka berharap bahwa bekas guru mereka akan pergi bersama mereka menemui Sang Buddha, dan berkenan mendengarkan ajaran-Nya juga, sehingga akan mencapai tingkat pencapaian magga dan phala. Tetapi Sanjaya menolak.

Oleh karena itu, Upatissa dan Kolita, dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menghadap Sang Buddha di Veluvana.

Di sana mereka ditahbiskan dan bergabung dalam pasamuan para bhikkhu. Upatissa sebagai anak laki-laki dari Rupasari menjadi lebih dikenal sebagai Sariputta. Kolita sebagai anak laki-laki dari Moggalli, lebih dikenal sebagai Moggallana. Dalam tujuh hari setelah menjadi anggota Sangha, Moggallana mencapai tingkat kesucian arahat. Sariputta mencapai tingkat yang sama dua minggu setelah menjadi anggota Sangha.

Kemudian, Sang Buddha menjadikan mereka berdua sebagai dua murid utama-Nya (agga-savaka).

Kedua murid utama itu, kemudian menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana mereka pergi ke festival Giragga, pertemuan dengan Assaji Thera, dan pencapaian tingkat kesucian sotapatti. Mereka juga bercerita kepada Sang Buddha tentang bekas guru mereka, Sanjaya, yang menolak ajakan mereka.

Sanjaya pernah berkata, "Telah menjadi Guru dari sekian banyak murid, bagiku untuk menjadi murid-Nya adalah sulit, seperti kendi yang berubah menjadi gelas minuman. Di samping hal itu, hanya sedikit orang yang bijaksana dan sebagian besar adalah bodoh. Biarkan yang bijaksana pergi kepada Sang Gotama yang bijaksana, sedangkan yang bodoh akan tetap datang kepadaku. Pergilah sesuai kehendakmu, murid-muridku".

Sang Buddha menjelaskan bahwa kesalahan Sanjaya adalah keangkuhannya, yang menghalanginya untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran; ia telah melihat ketidak-benaran sebagai kebenaran, dan tidak akan pernah mencapai pada kebenaran yang sesungguhnya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 11 dan 12 berikut:

Mereka yang menganggap,
ketidak-benaran sebagai kebenaran,
dan kebenaran sebagai ketidak-benaran,
maka mereka yang mempunyai,
pikiran keliru seperti itu,
tak akan pernah dapat,
menyelami kebenaran.

Mereka yang mengetahui,
kebenaran sebagai kebenaran,
dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran,
maka mereka yang mempunyai,
pikiran benar seperti itu,
akan dapat menyelami kebenaran.

Banyak bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Devadatta

Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha; Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.

Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan mereka mengatur dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih terdapat kelebihan, diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap layak. Hal itu juga terjadi jika tidak terdapat kekurangan, maka kain tersebut akan diberikan pada salah satu dari para thera. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha, hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta, yang tinggal menetap di Rajagaha.

Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha, datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.

Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian menghubungkannya dengan kisah berikut ini.

Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini berlutut kepada Paccekabuddha. Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati. Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Pacekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat.

Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah-gajah pada barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.

Sang Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga, dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang pemburu dengan belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah kuning, dia berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.

Sang pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan jubah kuning, dan perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu jelas tidak berhak memakai jubah kuning.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:

Barang siapa yang belum bebas,
dari kekotoran-kekotoran batin.
yang tidak memiliki pengendalian diri,
serta tidak mengerti kebenaran.
sesungguhnya tidak patut,
ia mengenakan jubah kuning.

Tetapi, ia yang telah dapat,
membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan.
memiliki pengendalian diri.
serta mengerti kebenaran.
maka sesungguhnya ia patut,
mengenakan jubah kuning.

Banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Mahakala Thera


Mahakala dan Culakala adalah dua saudagar bersaudara dari kota Setabya. Suatu ketika dalam perjalanan membawa barang-barang dagangannya, mereka berkesempatan untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, Mahakala memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai salah satu anggota pasamuan bhikkhu. Culakala juga ikut bergabung dalam anggota Sangha, tetapi dengan tujuan berkenalan dengan para bhikkhu dan menjaga saudaranya.

Mahakala bersungguh-sungguh dalam latihan pertapaannya di kuburan (Sosanika Dhutanga), dan tekun bermeditasi dengan objek kelapukan dan ketidak-kekalan. Akhirnya ia memperoleh "Pandangan Terang" dan mencapai tingkat kesucian arahat.

Di dalam perjalanan-Nya, Sang Buddha bersama murid-murid-Nya, termasuk Mahakala dan Culakala, singgah di hutan Simsapa, dekat Setabya. Ketika berdiam di sana, bekas istri-istri Culakala mengundang Sang Buddha beserta murid-murid beliau ke rumah mereka untuk menerima dana makanan. Culakala sendiri terlebih dulu pulang untuk mempersiapkan tempat duduk bagi Sang Buddha dan murid-murid-Nya.

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh bekas istri-istri Culakala untuk merayunya, agar ia mau kembali kepada mereka. "Kakanda, alangkah kurusnya engkau sekarang. Tentu selama ini kakanda sangat menderita. Mari, adinda bersedia memijit kakanda untuk menghilangkan lelah, seperti dahulu kala. O, kakanda, marilah kita bergembira seperti dahulu lagi."

Pada dasarnya Culakala memang tidak tekun dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajibannya sebagai bhikkhu. Mendengar berbagai rayuan dan rangsangan, batinnya tidak kuat. Nafsunya tergugah, tanpa pikir panjang lagi dilemparkannya jubahnya dan kembalilah ia kepada kehidupan duniawi, sebagai perumah tangga.

Melihat para istri Culakala berhasil mendapatkan suaminya kembali, para istri Mahakala pun tidak mau kalah. Pada hari berikutnya, bekas istri-istri Mahakala mengundang Sang Buddha bersama murid-murid-Nya ke rumah mereka, dengan harapan mereka dapat melakukan hal yang sama terhadap Mahakala.

Setelah berdana makanan, mereka meminta kepada Sang Buddha untuk membiarkan Mahakala tinggal sendirian untuk melakukan pelimpahan jasa (anumodana). Sang Buddha mengabulkan. Bersama murid-murid lain beliau meninggalkan tempat tersebut.

Sewaktu tiba di pintu gerbang dusun, para bhikkhu mengungkapkan kekhawatiran dan keprihatinan mereka. Mereka merasa khawatir karena Mahakala telah diijinkan untuk tinggal sendiri. Mereka merasa takut kalau terjadi sesuatu, seperti Culakala saudaranya, sehingga Mahakala juga akan memutuskan untuk meninggalkan pasamuan bhikkhu, kembali hidup bersama bekas istri-istrinya.

Terhadap hal ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa kedua saudara itu tidak sama. Culakala masih menuruti kesenangan nafsu keinginan, malas, dan lemah; dia seperti pohon lapuk. Mahakala sebaliknya. Tekun, mantap, dan kuat dalam keyakinannya terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha; dia seperti gunung karang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 7 dan 8 berikut ini:

Seseorang yang hidupnya hanya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan,
yang inderanya tidak terkendali,
yang makannya tidak mengenal batas,
malas serta tidak bersemangat,
maka Mara (Penggoda) akan menguasai dirinya.
bagaikan angin yang menumbangkan pohon yang lapuk.

Seseorang yang hidupnya tidak ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan,
yang inderanya terkendali,
sederhana dalam makanan,
penuh keyakinan serta bersemangat,
maka Mara (Penggoda) tidak dapat menguasai dirinya.
bagaikan angin yang tidak dapat menumbangkan gunung karang.

Saat itu bekas istri-istri Mahakala mengelilinginya dan berusaha agar Mahakala melepaskan jubah kuningnya. Mahakala mengetahui upaya mereka, maka ia tetap berdiam diri saja. Tetapi, istri-istrinya berusaha lebih keras lagi. Melihat itu, Mahakala merasa tak ada gunanya lagi berdiam disitu. Ia berdiri, dengan kemampuan batin luar biasa, ia melesat ke angkasa melewati atap rumah. Ia tiba tepat di bawah kaki Sang Buddha saat beliau tengah mengakhiri pembabaran dua syair di atas.

Kisah Pertengkaran di Kosambi

Suatu waktu, bhikkhu-bhikkhu Kosambi terbentuk menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu pengikut guru akhli vinaya, sedang kelompok lain pengikut guru akhli Dhamma. Mereka sering berselisih paham sehingga menyebabkan pertengkaran. Mereka juga tak pernah mengacuhkan nasehat Sang Buddha. Berkali-kali Sang Buddha menasehati mereka, tetapi tak pernah berhasil, walaupun Sang Buddha juga mengetahui bahwa pada akhirnya mereka akan menyadari kesalahannya.

Maka Sang Buddha meninggalkan mereka dan menghabiskan masa vassa-Nya sendirian di hutan Rakkhita dekat Palileyyaka. Di sana Sang Buddha dibantu oleh gajah Palileyya.

Umat di Kosambi kecewa dengan kepergian Sang Buddha. Mendengar alasan kepergian Sang Buddha, mereka menolak memberikan kebutuhan hidup para bhikkhu di Kosambi.

Karena hampir tak ada umat yang menyokong kebutuhan para bhikkhu, mereka hidup menderita. Akhirnya mereka menyadari kesalahan mereka, dan menjadi rukun kembali seperti sebelumnya.

Namun, umat tetap tidak memperlakukan mereka sebaik seperti semula, sebelum para bhikkhu mengakui kesalahan mereka di hadapan Sang Buddha. Tetapi, Sang Buddha berada jauh dari mereka dan waktu itu masih pada pertengahan vassa. Terpaksalah para bhikkhu menghabiskan vassa mereka dengan mengalami banyak penderitaan.

Di akhir masa vassa, Yang Ariya Ananda bersama banyak bhikkhu lainnya pergi menemui Sang Buddha, menyampaikan pesan Anathapindika serta para umat yang memohon Sang Buddha agar pulang kembali. Demikianlah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana di Savatthi. Di hadapan beliau para bhikkhu berlutut dan mengakui kesalahan mereka.

Sang Buddha mengingatkan, bahwa pada suatu saat mereka semua pasti mengalami kematian, oleh karena itu mereka harus berhenti bertengkar dan jangan berlaku seolah-olah mereka tidak akan pernah mati.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 6 berikut ini:

Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa,
dalam pertengkaran mereka akan binasa;
tetapi mereka,
yang dapat menyadari kebenaran ini;
akan segera mengakhiri semua pertengkaran.

Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kalayakkhini

Ada seorang laki-laki perumah tangga mempunyai istri yang mandul. Karena merasa mandul dan takut diceraikan oleh suaminya, ia menganjurkan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain yang dipilih olehnya sendiri. Suaminya menyetujui dan tak berapa lama kemudian isteri muda itu mengandung.

Ketika isteri mandul itu mengetahui bahwa madunya hamil, ia menjadi tidak senang. Dikirimkannya makanan yang telah diberi racun, sehingga isteri muda itu keguguran. Demikian pula pada kehamilan yang kedua. Pada kehamilannya yang ketiga, isteri muda itu tidak memberi tahu kepada isteri tua. Karena kondisi phisiknya kehamilan itu diketahui juga oleh isteri tua. Berbagai cara dicoba oleh isteri tua itu agar kandungan madunya itu gugur lagi, yang akhirnya menyebabkan isteri muda itu meninggal pada saat persalinan. Sebelum meninggal, wanita malang itu dengan hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada isteri tua.

Maka permusuhan itu pun dimulai.

Pada kelahiran berikutnya, isteri tua dan isteri muda tersebut terlahir sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing. Kemudian terlahir kembali sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina, dan akhirnya terlahir sebagai seorang wanita perumah tangga di kota Savatthi dan peri yang bernama Kali.

Suatu ketika sang peri (Kalayakkhini) terlihat sedang mengejar-ngejar wanita tersebut dengan bayinya. Ketika wanita itu mendengar bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, ia berlari ke sana dan meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha sambil memohon perlindungan.

Sedangkan peri tertahan di depan pintu vihara oleh dewa penjaga vihara. Akhirnya peri diperkenenkan masuk, dan kedua wanita itu diberi nasehat oleh Sang Buddha.

Sang Buddha menceritakan asal mula permusuhan mereka pada kehidupan lampau, yaitu sebagai seorang isteri tua dan isteri muda dari seorang suami, sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing, sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina.

Mereka telah dipertemukan untuk melihat bahwa kebencian hanya dapat menyebabkan kebencian yang makin berlarut-larut, tetapi kebencian akan berakhir melalui persahabatan, kasih sayang, saling pengertian, dan niat baik.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair ke 5 berikut ini:

Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci
Inilah satu hukum abadi.

Kedua wanita itu akhirnya menyadari kesalahan mereka, keduanya berdamai, dan permusuhan panjang itu berakhir.

Sang Buddha kemudian meminta kepada wanita itu untuk menyerahkan anaknya untuk digendong peri. Takut akan keselamatan anaknya, wanita itu ragu-ragu. Tetapi, karena keyakinannya yang kuat terhadap Sang Buddha ia segera menyerahkan anaknya kepada peri.

Peri menerima anak itu dengan hangat. Anak itu dicium dan dibelainya dengan penuh kasih sayang, bagaikan anaknya sendiri. Setelah puas, diangsurkan ke ibunya kembali.

Demikianlah, pada akhirnya mereka berdua hidup rukun dan saling mengasihi.

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Dhammapada |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.